Saturday, October 1, 2011

Kebohongan Publik??

Samar-samar teringat gambar-gambar poster di dinding SD saya dulu. Mayoritas adalah gambar pahlawan nasional. Mulai dari yang belum ada teknologi kamera seperti gambar Raden Wijaya, Gajahmada, pangeran Antasari, dll, sampai yang sudah menggunakan teknologi kamera seperti 7 foto gagah para Jenderal yang (katanya) mati dibunuh oleh PKI pada saat peristiwa G30S/PKI.
Teringat juga tiap tanggal 30 September selalu diputar film G30S/PKI di TVRI. Film tersebut benar-benar "menggambarkan" kejadian di tahun 1965 itu. Dengan detail digambarkan detik-detik kematian para jenderal tersebut.

Namun, seiring dengan perkembangan jaman, baik itu dari sisi ekonomi maupun politik (apalagi pasca mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden RI), mulai banyak yang berteriak di mana-mana bahwa peristiwa G30S tersebut hanya rekayasa. Rekayasa? Ya. Rekayasa yang diperlukan untuk keperluan pribadi Soeharto. Itu kata orang-orang.

Kalo saya sendiri punya pemikiran yang lain.

Di saat itu, negara sedang dalam keadaan yang tidak tentu dan dibutuhkan seorang penyelamat bangsa. Mungkin saja Jenderal Soeharto pada saat itu bisa melihat sebuah peluang untuk bisa maju sebagai penyelamat bangsa. Dan benar saja, Jenderal Soeharto muncul sebagai penyelamat pada saat itu. Terlepas dari perlakuannya merebut kekuasaan dari tangan Soekarno pada tahun 1966 (Supersemar), tapi beliau berhasil menunjukkan bahwa dirinya layak menjadi pemimpin di saat itu hingga di saat beliau lengser di tahun 1998.

Banyak lawan politik Soeharto menilai bahwa pemutaran film G30S itu adalah alat propaganda yang nyata dengan menunjukkan kepahlawanan Soeharto dan menanamkan trauma kepada anak bangsa terhadap yang namanya KOMUNIS. Bagi saya, kenapa tidak? Menurut saya wajar aja dalam yang namanya penulisan sejarah ada unsur obyektivitas. Menurut ahli sejarah E. H. Carr, tidak ada sejarah yang absolut obyektif. Sejarawan yang menulis buku sejarah pasti akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain dikenal sebagai personal bias, larar belakang lingkungannya, keadaan politik, dan jugakonflik ideologi. Ketika sejarawan pro pada pemerintahantertentu, pasti sejarah mengenai pemerintahan itu akan dibuat sepositif mungkin, sementara sejarah lawan politiknya dibuat senegatif mungkin. Tentunya "penciptaan" sejarah yang kurang obyektif ini dihubungkan dengan kisah sejarah yang asli dan mendapat bumbu-bumbu positif hingga membuat orang percaya.

Memang banyak kejanggalan demi kejanggalan yang ditemukan seiring dengan berjalannya waktu mengenai peristiwa G30S/PKI tersebut. Salah satu contoh yang mengganggu adalah bahwa keberadaan Soeharto sebagai seorang Jenderal tetapi kok beliau tidak ikut menjadi korban? Perlu diketahui, semua korban adalah "yang dianggap" termasuk dalam Dewan Jenderal. Apa itu Dewan Jenderal? Dewan Jenderal adalah sekelompok jenderal yang mengawasi kinerja Presiden Soekarno dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan Soekarno dan berniat melakukan kudeta. Isu tersebut yang berhembus saat itu. Entah siapa yang pertama kali meniupkan isu tersebut.

Terlepas dari semua itu, pemerintahan Soeharto sudah bisa membuktikan pencapaian swasembada pangan, pembangunan di seluruh Indonesia, hutang negara yang tidak sebanyak selama lama pemerintahan SBY yang baru 7 tahun dibanding 32 tahun kepemimpinan Soeharto.

Apakah saya pengagum Soeharto? Ya.

Apakah saya pengikut Soeharto? Saya seperti air, mengikuti siapa saja yang saya anggap menguntungkan hidup orang banyak dan saya tentunya.

Itu semua hanya sebagian uneg-uneg pemikiran saya selama ini yang baru sempat saya tuangkan sekarang.


Denpasar, 1 Oktober 2011