Wednesday, April 13, 2011

Sudahlah, maafkan saja!!!


Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua orang tampil dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkanpun tampak lezat dan mengundang selera. Saat Anda antre untuk mengambil makanan, tiba-tiba seseorang yang sangat Anda percaya berbisik di telinga Anda, ”Hati-hati, banyak makanan tak halal disini, bahkan ada beberapa yang beracun!”


Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat mengambil makanan. Boleh jadi Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda benar, hanya orang bodohlah yang mau menyantap makanan tersebut. Kita tak mau makan sembarangan. Kita sangat peduli pada kesehatan kita.


Anehnya, kita sering — bahkan dengan sengaja — memasukkan ”makanan-makanan beracun” ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar bahwa inilah sumber penderitaan kita. Salah satu makanan yang paling berbahaya tersebut bernama: ketidakmauan kita untuk memaafkan orang lain!


Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita marah karena pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, rekan kerja, dan sahabat kita tak melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.


Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita celaka, orang yang membobol ATM kita, politisi yang hanya memperjuangkan perutnya sendiri, maupun dikhianati sahabat kita. Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah merugikan kita sendiri.


Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.


Baru-baru ini saya sendiri mengalami sendiri apa yang disebut di atas "Tidak Memaafkan". Tiap hari saya berpikir apa layak orang itu dimaafkan ? Ternyata kecongkakan dan ketinggian gati seseorang bisa membuat semua berjalan lebih tidak karuan. Akibatnya, hidup hanya dipenuhi kebencian dan ketidakdamaian. Hidup yang semestinya bisa dibuat cerah, tetapi secara tidak sengaja justru dibuat mendung selalu. Ujung-ujungnya hidup tidak bahagia.



Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita. Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena itu jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya, belajarlah memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan. Banyak orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri.


Orang yang suka memaki dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari bahwa mereka sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena batunya. Inilah konsekuensi logis dari hukum alam.


Mempraktikkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain. Hentikan kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingatlah, kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidaksempurnaannya. Hanya Tuhan yang sempurna. Saya menyukai apa yang dikemukakan Gerarld G Jampolsky dalam bukunya Forgiveness, The Greatest Healer of All.


”Rela memaafkan adalah jalan terpendek menuju Tuhan.”


Jadi kawan, seberat dan sefatal apapun kesalahan orang itu, cobalah untuk memaafkan. Memang memaafkan tidak semudah kita bernapas lewat hidung, tidak semudah kita membalikkan tangan. Mulailah dengan memaafkan dirimu sendiri. Kalau kamu bisa berkaca dan menemukan kesalahanmu di depan cermin itu, maafkan dirimu dulu baru memaafkan orang lain.

No comments: